“Bangsa yang tidak membaca, tidak memiliki banyak pengalaman. Bangsa yang tidak memiliki banyak pengalaman akan membuat keputusan buruk di rumah, di bursa, di pengadilan, dan di bilik suara. Keputusan-keputusan itu pada akhirnya memengaruhi seluruh bangsa, baik yang melek maupun yang buta huruf” –Jim Trealese, penulis buku international best seller, Read Aloud-Handbook–
Bahwa membaca itu penting, kita sudah paham. Ungkapan pentingnya membaca dari Trealese hanya menegaskan kembali keyakinan kita selama ini. Kita sadar bahwa membaca penting. Permasalahannya, tidak semua dari kita yang sudah sadar bisa merealisasikannya. Pengetahuan kita tentang membaca juga sudah cukup, tetapi sikap dan perilaku kita dalam membaca –tampaknya– yang belum cukup.
Seperti slogan Jusuf Kalla, penanaman budaya membaca ini lebih cepat lebih baek. Dalam versi Aa Gym; mulai sejak kanak-kanak, mulai dari usia dini, mulai dari keluarga. Ranting yang mudah lebih gampang dibengkokkan. Begitulah filosofinya.
Ini hanya cerita ringan dari dua anak yang mencintai bacaan. Nabil dan Nadiah, murid kelas V dan Kelas IV sekolah dasar. Kakak-adik, usia 10 dan 9 tahun. Persoalan kecintaan membaca bukan lagi masalah bagi keduanya. Masalahnya kini, menyiapkan bahan bacaan dan kadang-kadang menghentikannya membaca. Itu dua masalahnya. Mengapa mesti dihentikan? Ya, sepulang dari toko buku, mereka harus dihentikan karena waktu istirahat digunakan untuk membaca, utamanya di malam hari. Masalah ini muncul karena buku yang sedang dibaca belum tuntas di saat waktu istirahat telah tiba. Atau ketika bangun tidur dan harusnya berkemas berangkat ke sekolah, tetapi yang dilakukan justru membaca. Ini juga masalah.
Nabil dan Nadiah, dua anak bersaudara dengan perilaku berbeda dalam membaca. Nabil, sejak awal menyenangi membaca. Ia tak pilih-pilih bacaan. Di usia 10 tahun saat ini, ia gandrung dengan fiksi sains dan serial ilmu pengetahuan; serial Why, Science Quiz, Detektif Conan, Naruto, dan semua bacaan yang berkaitan dengan pesawat, luar angkasa, dan astronot. Tipikal kepribadian laki-laki kelihatan tergambar dari bacaannya.
Soal membaca bagi Nabil tak ada masalah. Belikan saja, ia akan baca. Masalahnya, ya itu tadi menyiapkan bacaannya. Satu tahun terakhir 16 buku Why, 42 detektif Conan, dan puluhan buku Naruto, Science Quiz, dan lainnya. Serial Why yang berkisar 200 halaman, jika dia sehat akan dilahap minimal dua buku dalam sehari. Terakhir dia tuntaskan Why: Steve Jobs dan Why: World War 1 dan 2. Apalagi dengan Detektif Conan, biasanya dibelikan satu kotak kecil berisi 10 buku tuntas dalam dua hari. Yang menarik, buku-buku itu umumnya dibaca lebih dari sekali. Ya, karena ia ingin membaca dan buku baru belum dibelikan. Agar anak-anak menjadi pembaca, belikan buku. Ini tips pertama dari cerita Nabil.
Nadiah. Ini yang agak unik. Awalnya tidak senang dengan membaca. “Tidak enak membaca,” begitu katanya. Dibelikan buku kadang kala tak dibaca. Mesti dibujuk atau dibacakan. Ia lebih senang menggambar dan mewarnai. Perjalanan waktu menunjukkan masalah Nadiah bukan pada membaca, tetapi pada bacaan yang tak digemarinya. Buku-buku yang dibelikan tak sesuai seleranya, tapi ia juga tak bisa menemukan selera yang diinginkan. Orang tua Nadiah sebelumnya banyak menjejali dengan bacaan religius, ia menginginkan yang lain.
Sikap Nadiah terhadap bacaan berubah ketika menemukan serial novel anak Kecil-kecil Punya Karya –KKPK–. Tahun lalu sekolahnya mengadakan kegiatan Membaca Bersama dan mengundang Gramedia memamerkan bukunya. Di event ini ia berjumpa KKPK. Ia terkesan. Sepulang sekolah minta dibelikan. Ahaa… orang tua senang dan segera diantar ke toko buku. Sejak saat itu, ia larut dalam novel anak. Karakteristik bacaan perempuan juga tercermin dari Nadiah: kisah dramatik, persahabatan, dan kasih sayang.
Setahun terakhir Nadiah menuntaskan 57 serial KKPK. Serial novel anak dengan tebal minimal 100 halaman biasanya akan tuntas dalam satu setengah hari. Jumlah bacaan yang dituntaskan itu sedikit lebih banyak dari bacaan ibunya –mungkin juga bapaknya–. Ya, Nadiah yang awalnya tak senang membaca karena tak menemukan buku yang sesuai selera. Orang tua yang menyiapkan bacaan sesuai seleranya –bukan selera anak–terbukti gagal. Tips kedua dari Nadiah, bebaskan anak memilih bacaan dan membaca sesuai seleranya.
Menjadikan anak mencintai bacaan bukan pekerjaan yang sederhana, tetapi juga tidak sulit. Hanya butuh perhatian dan sedikit pengorbanan –termasuk mengorbankan budget make up ibu-ibu–. Kata orang tua Nabil-Nadiah, “Kami tak bersedih meskipun tidak bisa memenuhi semua kebutuhannya, tetapi kami bahagia karena bisa membelikan buku-buku yang diinginkannya”. Ya, investasi terbesar bagi keduanya, hanya buku-buku yang dibacanya.
Menunjukkan, lebih mudah dari menceritakan. Anak lebih muda membeli buku karena orang tua membeli buku. Anak rajin membaca karena orang tua lebih dahulu membaca. Tips ketiga adalah membaca terlebih dahulu agar anak-anak juga membaca.
Sebagaimana kutipan di awal, mendidik para pembaca –paling tidak di lingkungan keluarga– berarti membantu bangsa ini untuk mengambil keputusan-keputusan yang baik. Di akhir tulisan ini, sekali lagi, saya ingin mengutip Jim Trealese yang menempatkan membaca sebagai bagian penting bagi satu bangsa –baca; bukan hajat pribadi, keluarga, atau kelompok, tetapi bangsa yang mencakup orang banyak– :
“Membaca adalah senjata pamungkas yang menghantam kebodohan, kemiskinan, dan ketersia-siaan sebelum semua itu menghancurkan kita”.
Ya, kita hanya memiliki dua pilihan; kita menghantam kebodohan, kemiskinan, dan ketersia-siaan dengan membaca atau kita yang dihantam. Membaca akan membawa kita keluar dari kegelapan dan juga kegagapan. Sejarah telah membuktikan.
Selamat menjadi pembaca dan mendidik para pembaca!
Lion Air, UPG-SUB, 13/09/2016
Filed under: Percik | Leave a comment »