Nasionalisme dari Permainan Domino

Dalam minggu ini, saya disuguhkan dua cerita tentang permainan domino. Cerita pertama datang dari seorang kawan yang mengisahkan kawannya yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan sarjananya di suatu perguruan tinggi karena topik skripsi yang akan dibuatnya berkaitan dengan domino. Sang dosen pembimbing ‘tidak merestui’  untuk menulis skripsi tentang logika matematika dalam permainan domino. Alhasil, rekan dari kawan saya ini gagal menyelesaikan pendidikan sarjananya. Cerita kedua tentang perayaan hari kemerdekaan di ‘kampung saya’ saat ini yang diisi dengan pertandingan domino. Mulai dari tingkat RT, tingkat desa, dan juga antar wakil-wakil departmen perusahaan.

Nasionalisme dari permainan domino? Ah… kelihatannya mengada-ada. Tetapi, kenyataannya pertandingan sudah rutin dilakukan dalam perayaan kemedekaan RI. Bahkan bisa dikatakan telah menjadi budaya baru perayaan kemerdekaan bangsa kita.Dari waktu penyelenggaraannya, jelas ini merupakan upaya menggalang partisipasi warga untuk meramaikan HUT RI. Apalagi, permainan domino sudah mengakar sebagai permainan rakyat. Begitu digemari dan digandrungi oleh rakyat biasa hingga rakya tak biasa (baca; pejabat). Terbukti pertandingan domino di RT saya, dihadiri oleh pejabat teras kabupaten yang juga ikut bertanding. Inilah salah satu keuntungan orang biasa yang bisa merasakan langsung buah pemikiran pejabat meskipun hanya melalui permainan domino. Ini juga menjadi arena yang paling penting untuk membuktikan kualitas berpikir antara orang biasa dengan pejabat meskipun hanya dalam permainan domino. Siapa lebih hebat? Orang biasa atau orang tak biasa.

Dari sisi nasionalisme, paling tidak, inilah upaya menumbuhkan kebersamaan antara pejabat dan rakyat biasa tadi. Bukankah kebersamaan menjadi harga yang mahal dalam membangun bangsa ini. Kita masih ingat para penari cakalele yang secara terang-terangan menunjukkan ketidakinginannya lagi untuk bersama kita dalam bingkai Republik Indonesia. Mudah-mudahan kebersamaan ini tidak hanya berakhir di arena domino, tetapi dapat berlanjut di arena-arena yang lain. Mudah-mudahan pula tidak hanya bersama-sama bermain mengutak-atik kartu, tetapi bisa saling berbagi, bercerita, dan berkeluh kesah. Dan  yang paling utama, bukan kebersamaan untuk tebar pesona.

Permainan domino secara filosofis dapat memberikan konstribusi atas penguatan nasionalisme kita. Selain kebersamaan yang sudah diuraikan, nilai lainnya yang bisa kita dapatkan dari permainan ini yakni kedisiplinan, saling pengertian, sportivitas dan kejujuran, kerja sama, dan saling menghargai.

Kedisiplinan. Bisa dibayangkan jika pemain domino tidak disiplin. ‘Menurunkan’ kartu padahal bukan gilirannya misalnya, tentu permainan menjadi kacau. Oleh karena itu, dalam pertandingan kesalahan demikian mendapatkan sanksi berupa poin untuk lawan.

Dalam keseharian kita, kiranya disiplin menjadi prioritas. Berapa banyak karyawan, pegawai, pemakai kendaraan, atau siapa saja yang tidak disiplin. Pegawai datang terlambat, tetapi pulang lebih cepat. Ini tentu bukan wujud nasionalisme yang baik dalam bekerja.

Saling pengertian. Permainan domio sangat membutuhkan saling pengertian. Pemain tidak boleh memetingkan diri sendiri. Dibutuhkan kebersamaan bahkan pengorbanan untuk kemenangan tim. Seorang rekan yang ulung dalam bermain domino bercerita bahwa dia tidak segan-segan mematikan kartu double yang dipegangnya demi kemenangan rekannya. Inilah wujud saling pengertian yang tidak mementingkan diri sendiri. Dalam bergaul, bekerja, dan konstribusi lainnya untuk bangsa, saling pengertian untuk sesama jelas sangat dibutuhkan.

Kerja sama. Kemenangan tim (pasangan) dalam permainan domino menjadi penentu kemenangan tim. Jika dalam permainan sepak bola dibutuhkan umpan terukur untuk menciptakan gol, maka dalam domino pun demikian. Umpan yang tepat dibutuhkan untuk meraih kemenangan. Kerja sama menjadi poin yang mutlak.

Hal ini mengingatkan kembali saya dengan cerita rekan di warung bakso dua hari lalu. Dia mengeluhkan kondisi tempat kerjanya yang menurutnya sangat susah membangun dan menumbuhkan kerja sama. Yang terjadi kebanyakan, bekerja bersama-sama tanpa kerja sama. Dia mengisahkan seorang rekannya yang menurutnya gila kerja sehingga lupa membagi pekerjaan ke anggota yang lainnya.

Kemerdekaan yang diraih bangsa ini tidak lepas dari kerja sama yang dilakukan oleh para pejuang kita. Jumlah yang kecil dengan peralatan sederhana menjadi kuat karena ikatan kerja sama. Jika dalam merebut kemerdekaan kita bekerja sama, di alam kemerdekaan seperti ini harusnya tetap terjaga.

Sportivitas dan kejujuran. Dua hal ini menjadi nilai yang terkandung dalam permainan  domeng (bugis, red.). Jujur untuk tidak mengelabui lawan. Sportif untuk tidak menggunakan kode dan sandi demi kemenangan. Rela ‘membuang’ kartu meskipun berbuah kemenangan bagi lawan. Kemenangan permainan menjadi tujuan, tetapi sportivitas dan kejujuran menjadi nafas permainan.

Mengelola bangsa ini juga hendaknya dilandasi dengan jiwa kejujuran. Korupsi, kolusi, dan nepotisme dan segala bentuk kejahatan lainnya menjadi duri dalam membangun bangsa akibat mahalnya nilai kejujuran bagi sejumlah orang.

 Saling menghargai. Ambisi mengalahkan lawan siapa pun orangnya dalam permainan domino sah-sah saja. Tetapi semangat kemenangan itu tidak boleh menghilangkan penghargaan terhadap lawan. Dia adalah musuh kita yang harus dikalahkan, tetapi tetap harus diharga. Bukankah kehadirannya menjadi musuh begitu berarti kami kita. Mengapa? Kalau tidak ada lawan permainan tidak dapat berlangsung? Jelas posisinya penting kan! 

Dalam kehidupan sehari-hari sering kali kita melihat dan menempatkan orang lain menjadi ‘musuh’ yang sebenar-benarnnya. Padahal kehadiran ‘musuh’ kadang kala justru sangat dibutuhkan. Domino, sepakbola, catur, dan lainnya semua membutuhkan musuh. Saatnya mengakhiri  pandangan sempit atas dasar ideologi tertentu dalam melakoni hidup. Konflik bernuansa SARA yang terjadi salah satunya lahir dari fanatisme sempit yang menghilangkan sikap saling menghargai.

Wah… kalau dihubung-hubungkan ternyata domino dan rasa nasionalisme bisa juga memiliki hubungan! Domino sebagai permainan juga memiliki nilai-nilai filosofis yang dibutuhkan di alam kemerdekaan. Jika demikian, mungkin pertandingan domino dalam merayakan kemerdekaan tidak ada salahnya untuk dilakukan.

Saya kembali teringat dengan cerita kawan tadi. Rasa-rasanya dia telah menjadi korban ‘penjajahan’ pemikiran oleh sang dosen. Kasihan! Dia tidak memiliki kemerdekaan berpikir? Tetapi dia berhasil menunjukkan bahwa sang dosen belum mampu menghargai kreativas otak mahasiswanya. Ya, dia merdeka berpikir dibawah ‘penjajahan’  sang dosen. Jika demikian, nasionalisme sang dosen tadi layak dipertanyakan. (*)

  

Sorowako, Jauh Dari Kota Dekat Dihati

 

Perjumpaan saya dengan Sorowako bermula di suatu hari pada bulan September 2001. Kala itu, hatiku sedang dilanda kepanikan sebagai pengangguran yang baru saja lahir dari ‘rahim’ perguruan tinggi. Walaupun banyak orang mengatakan bahwa panik sebagai sarjana baru itu biasa saja, namun perasaaan was-was tetap saja melanda diriku. Hingga akhirnya tawaran untuk bergabung dengan Yayasan Pendidikan Soroako langsung ‘kusambar’ seketika.

Sorowako? Sebuah kata yang penuh tanya kala itu. Sebuah tempat yang hanya pernah kudengar ataupun kubaca melalui tulisan. Sama sekali saya belum pernah mampir, walaupun sejenak. Tetapi, sekali lagi, karena dorongan untuk segera merengkuh satu pekerjaan membuatku tidak perlu berpikir panjang untuk membayangkannya.           

Ketika akhirnya aku berangkat memulai petualangan di kota nikel ini, aku mulai membayangkan Sorowako sebagai satu kota yang penuh dengan hiruk pikuk. Angkutan umum dan kendaraan yang lalu lalang. Becak memenuhi sudut-sudut jalan. Mobilitas warga beraktifitas yang sangat tinggi. Ringkasnya, aku membayangkan suasana kehidupan kota pada umumnya. Akhirnya, kekhawatiran yang muncul dalam benak saya kala itu adalah takut tersesat.            

Informasi dari sejumlah media yang menyebutkan bahwa di Sorowako merupakan daerah operasi salah satu perusahaan pertambangan yang berbasis di Kanada semakin menambah ketegangan dalam diriku. “Sorowako bagaimana ya?,” itu pertanyaan yang selalu mampir dibenakku ketika berada di dalam pesawat. “Kalau pesawat ini mendarat, bagaimana saya menemukan YPS? Bisakah saya temukan?,” tanya saya dalam hati. Maklum saja, ketika itu komunikasi dengan telepon gengam (hand phone) masih menjadi barang langkah, termasuk di Sorowako.           

Ketika akhirnya pesawat mendarat, seseorang yang mengaku sebagai penjemput menjadi penawar ketegangan. “Selamat  saya, tidak tersesat,” kata saya kala itu. Hingga akhirnya mobil jemputan bergerak meninggalkan bandara. Rute bandara ke Pontada kuamati seksama kiri dan kanan.  Saya melihat sebuah suasana yang justru mirip dengan kehidupan desa. Suasana hati saya kembali diliputi tanda tanya, “Ah…Inikah Sorowako?”. Dalam hati, saya berpikir  bandara Sorowako berada jauh di luar kota. Saya berucap, “Ini desa yang dilewati sebelum tiba di Kota Sorowako,”. Hingga akhirnya mobil berhenti dan sang sopir mengatakan saya sudah sampai dan inilah Sorowako. “Ohh…Sorowako begini toh..,” kata saya dalam hati. Sama sekali tidak seperti yang kubayangkan, penuh hiruk pikuk, kendaraan lalu lalang, atau kemungkinan saya bisa tersesat. Becak? Satu pun tak ada. Sorowako, tak seperti yang kubayangkan.

***           

Petualangan saya di Sorowako terus berlangsung dari waktu ke waktu. Tak terasa kini sudah diujung tahun keenam saya bersama ‘kota’ ini. Enam tahun menjadi waktu yang sangat saya nikmati. Keramahan warga, keindahan alam, suasana yang aman dan nyaman, serta fasilitas olah raga yang melimpah itulah yang saya nikmati selama ini. Bagi saya, Sorowako dengan segala keterbatasannya, seperti berada ‘di hutan’, terpencil, dan kebutuhan ekonomi yang tinggi tetap menjadi tempat yang nyaman untuk dihuni.           

Kenyamanan yang kurasakan bersama kota nikel ini, membuatkan sebuah tekad untuk tetap bersamanya. Bahkan saya bertekad untuk terus mencatatkan kenangan demi kenangan sebagai penanda bahwa saya pernah menjadi bagian dari Sorowako. Obsesi saya untuk mencatat kenangan dan memberikan tanda bahwa saya pernah menjejakkan kaki di kota yang indah ini salah satunya telah terwujud. Dua buah hati saya yang telah lahir, semuanya menggunakan kota Sorowako sebagai kota kelahiran. Kelak jika saya mengakhiri tugas di Sorowako, inilah kenangan terbesar yang saya miliki.            

Kelahiran Nabil dan Nadiah, putra putri kami yang keduanya menyaksikan fajar kehidupan dunia untuk pertama kalinya di Sorowako merupakan harapan kami yang restui oleh Allah. Kelak kami ingin mengenang Sorowako dengan sedekat-dekatnya. Oleh karena itu, keinginan mencatatkan tempat kelahiran mereka dengan kota Sorowako begitu kuat. Jauh lebih kuat dibandingkan ajakan keluarga untuk mencatatkan kota kelahiran keduanya dengan kampung halaman, seperti bapak dan ibunya.           

Satu mitos yang dipercaya sebagian masyarakat dan berkembang dari mulut ke mulut bahwa barang siapa yang datang ke Sorowako dan meminum air Danau Matano maka suatu ketika ia akan kembali ke Sorowako. Kadang kala saya pun juga berpikir, apakah ketika pertama kali ke Sorowako saya terlalu banyak meminum air danau sehingga selalu nyaman berada di sini. Ataupun apakah akumulasi air Danau Matano yang saya minum dari hari ke hari hingga enam tahun ini sudah ‘berkarat’ dalam diri saya sehingga rasanya ingin hidup sampai ‘berkarat’ pula di kota ini.

***

Bagi saya Sorowako merupakan sebuah kota yang sejuk. Bukan hanya dari kesejukan alamnya, namun yang lebih utama adalah kesejukan warganya. Keramah-tamahan warganya dan kekeluargaan yang tinggi menjadi daya tarik untuk tetap betah di kota ini. Di kota tambang ini saya merasa torang samua basudara.Itu pula yang membuat saya merasa bangga menjadi warga Sorowako. Betapa tidak, kota ini tidak berlebihan jika dikatakan sebagai Indonesia mini. Berbagai suku, agama, etnik, bahkan warga asing hadir di sini untuk mencatatkan dirinya sebagai warga Sorowako. Sorowako kota bhineka tunggal ika. Namun, di dalam kebhinekaannya, kenyamanan dan kedamaian tetap terjaga.

Kesejukan alamnya menjadi hidangan setiap hari bagi saya. Sorowako kota yang indah telah dikenal warga secara luas, itu pula yang saya rasakan. Bagi saya ini salah satu penyebab sehinga betah untuk terus berkarya di kota ini. Lokasi yang terpencil, jauh dari keramaian, tak ada mall, dan berada di hutan diimbangi dengan keindahan alam dan kesejukan warganya. Sorowako memang jauh dari kota, namun selalu dekat di hati.Catatan: Naskah ini disiapkan dalam rangka mengikuti lomba menulis “Soroako dan Saya” yang dilaksanakan www.sorowako.net