Orientasi Pembelajaran: Bukan Sekadar Lulus UN

Pekan ini, mulai tanggal 16—19 April 2011, siswa  SMA/SMK/MA dan yang sederajat akan menghadapi Ujian Nasional (UN). Bagi mereka, ini adalah momentum penting untuk mengakhiri pencapaian kualifikasi pendidikan di jenjang pendidikan menengah. UN adalah tahapan terakhir yang menentukan sukses atau gagalnya seorang siswa meninggalkan jenjang pendidikan ini.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, UN menjadi even yang menguras energi dan pikiran banyak pihak, mulai dari siswa, guru, orang tua, pemimpin sekolah, hingga pejabat pendidikan. Indikasi itu terlihat dari serangkaian try out yang digelar, program belajar tambahan, atau bimbingan belajar. Seminggu terakhir ini, menjelang hari pelaksanaan UN,  kondisi semakin dramatis yang ditandai dengan serangkaian zikir, doa bersama, atau istigosah yang melibatan peserta UN. Bahkan di Kota Makassar, terlontar ide untuk memberikan surat edaran yang berisi larangan menonton pertandingan sepak bola, semifinal Liga Champions Eropa, demi menjaga konsentrasi dan ‘stamina’ bertempur di UN (Tribun Timur, 7/4/2011).

Melihat persiapan yang dilakukan dan suasana psikologis yang tergambar menjelang ujian, UN terkesan sebagai momok yang menakutkan dan cenderung mencemaskan bagi mereka yang terlibat secara langsung. Namun demikian, gambaran tersebut sesungguhnya bertolak belakang dengan pencapaian siswa pada UN sebelumnya. Pada tahun 2011, tingkat kelulusan siswa SMA/SMK/MA mencapai 99,22% (sumber: kompas.com). Pada tingkat SMP/sederajat, kelulusan mencapai 99,45%. Dari sisi perolehan nilai, prestasi pelajar kita pun sangat fantastis. Tahun lalu, Bali menjadi provinsi dengan perolehan nilai UN terbaik SMA dengan rata-rata nilai 8,31. Pada jenjang SMP/sederajat, perolehan nilai rata-rata siswa juga terbilang baik, tidak ada rata-rata nilai di bawah 7 dari empat mata pelajaran yang diujikan. Rata-rata nilai bahasa Indonesia 7,12; bahasa Inggris 7,52; Matematika 7,30; dan IPA 7,41.

Apa makna dari angka-angka tersebut?

Ya, pelajar kita pada level SMP dan SMA menunjukkan prestasi yang membanggakan dalam konteks UN. Tingkat kelulusan sangat luar biasa, hanya kurang dari 1 % dari jutaan peserta, baik SMP/sederajat maupun SMA/SMK/MA. Tanpa mengecilkan arti UN, semestinya situasi menjelang ujian kali ini, tidak demikian menegangkan dan mencemaskan seperti yang kita saksikan.  Bukankah suasana psikologis  yang terbebas dari rasa takut, cemas, dan tertekan dibutuhkan pelajar untuk belajar? Belajar atas kesadaran lebih bermakna dibanding belajar atas tekanan.

Angka-angka fantastis yang diperoleh siswa dalam ujian nasional tersebut jauh berbanding terbalik dengan hasil sejumlah studi yang dilakukan oleh lembaga internasional terhadap siswa kita. Hasil penilaian terbaru dari Performance in International Student Asessesment (PISA) yang dirilis Desember 2010 lalu menunjukkan bahwa kemampuan pelajar kita dalam bidang membaca, matematika, dan sains masih memprihatinkan. Perolehan rata-rata skor siswa Indonesia  berada di bawah skor rata-rata negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).  Skor rata-rata pelajar Indonesia menduduki peringkat 10 besar terbawah dari 65 negara. Kemampuan membaca pelajar Indonesia usia 15 tahun (baca: usia SMA) berada pada peringkat ke-57, Matematika peringkat ke-61, dan Sains peringkat ke-60 (Lihat PISA 2009 Results, OECD Report:2010). Dari sisi kemampuan membaca, rata-rata pelajar kita hanya mampu menemukan informasi, tetapi sangat lemah dalam menafsirkan, merefleksi, dan mengevaluasi isi bacaan. Dari enam level membaca yang diujikan, tidak ada yang mampu menjawab dengan benar pertanyaan level enam.

Hasil yang sama ditunjukkan dari studi terakhir Trends in Mathematics and Science Study (TIMSS) yang menempatkan siswa Indonesia pada peringkat 36 dari 49 negara dengan rata-rata skor 397, jauh di bawah Taiwan yang  berada di peringkat pertama dengan skor rata-rata 598.  Di bidang sains pada studi yang sama, pelajar Indonesia berada pada peringkat 35 dengan skor rata-rata 427.  Populasi dari studi tersebut adalah siswa siswa sekolah menengah pertama (SMP).

Pada level sekolah dasar, studi terakhir yang dilakukan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) menempatkan murid-murid Indonesia pada peringkat 41 dari 45 negara.  Capaian skor rata-rata 405, berada di bawah standar rata-rata skor internasioal, yakni 500. Sekadar catatan, studi terbaru PILRS akan kembali dipublikasikan 11 Desember 2012 mendatang. Menarik ditunggu untuk melihat pencapaian pelajar kita.

Melihat hasil yang diperoleh pada tiga hasil studi internasional tersebut,  nampaknya inilah yang layak untuk dicemaskan. Literasi membaca, literasi matematika, dan literasi sains yang merupakan tiga kemampuan utama untuk dapat bersaing atau sekadar survive dalam persaingan global menunjukkan hasil yang mengecewakan. Pelajar-pelajar kita yang cemerlang di ujian nasional terindikasi sulit untuk berkompetisi dalam konteks global. Kemampuan mereka berada di bawah rata-rata standar international dan bahkan kalah bersaing dengan sesama negara dunia ketiga, seperti Iran, Bahrain, Tunisia dan negara tetangga di ASEAN, seperti Malaysia dan Thailand.

Dalam perspektif penulis, gap yang begitu besar antara hasil ujian nasional dengan hasil studi internasional terjadi karena perbedaan orientasi dalam pembelajaran dan tes yang dilakukan. Studi international lebih menekankan upaya untuk mengukur keterampilan pelajar sebagai bekal untuk bersaing dalam kompetisi global. Hasil yang diperoleh memberikan prediksi terhadap kemampuan mereka untuk bisa survive di masa mendatang. Oleh karena itu, aspek-aspek yang diukur dalam studi tersebut lebih menekankan pada keterampilan menemukan informasi secara eksplisit, kemampuan menarik simpulan, kemampuan menginterpretasi dan mengintegrasikan gagasan. Domain proses berpikir yang diujikan bukan hanya terbatas pada aspek pengetahuan, tetapi lebih menekankan pada penerapan dan penalaran. Dalam aspek-aspek tersebut pelajar kita lemah sehingga superioritas di UN tidak tercermin dalam studi ini.

Pada studi-studi internasional, pengetahuan yang diujikan merupakan informasi yang sifatnya beyond the fact. Wawasan yang diujikan bertujuan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi pelajar (high order of thinking). Sebaliknya, tes ujian nasional cenderung mengedepankan menguji fakta (content) yang berada pada kemampuan berpikir tingkat rendah (low order of thinking). Hal tersebut dikarenakan sifat dari tes berbentuk objektif yang diberikan.

Menurut Belen (2000) penggunaan soal-soal berbentuk objektif, terutama pilihan ganda, mengurangi fungsi ujian nasional sebagai pendorong peningkatan mutu pembelajaran.Berbeda dengan tes subjektif yang menekankan pada penilaian kemampuan bereksprimen, penyelidikan, pemecahan masalah, kemampuan berbicara dan menulis dipandang mampu mendorong kreativitas dalam keterampilan berpikir pelajar.

Lebih lanjut, Belen mengemukakan bahwa karakteristik soal ujian nasional lebih menekankan kepada penuangan informasi. Implikasinya, menjelang UN, bimbingan belajar (baca: bimbingan tes) seolah menjadi keniscayaan. Karakteristik soal UN yang demikian berimplikasi kepada proses pembelajaran dan penilaian yang dilakukan guru di kelas sebagai implementasi kurikulum. Untuk lulus ujian, guru mendesain pembelajaran bersifat hafalan dan latihan soal. Keterampilan mencari, menggali, mengolah, dan menghubungkan informasi terabaikan.

Dalam konteks implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hal tersebut merupakan anomali. Tuntutan pembelajaran kurang relevan dengan proses penilaian. KTSP menghendaki pembelajaran berlangsung untuk mengembangkan kemampuan inquiry dan penalaran, pembelajaran berbasis masalah, dan discovery learning. Sebaliknya, tuntutan UN mengarahkan pembelajaran pada model drilling.

Hasil studi internasional yang bertolak belakang dengan hasil UN menjadi peringatan agar proses pembelajaran dan penilaiannya tidak sekadar menyiapkan pelajar yang hebat dalam menaklukkan ujian nasional. Pelajar kita harus disiapkan untuk bisa survive hidup di masa mendatang dalam situasi yang jauh lebih menantang dan kompetitif dibanding saat ini. Pelajar kita harus kompetitif bukan hanya sebagai warga negara, tetapi dalam kapasitas warga dunia. Ini adalah konsekuensi dari keterbukaan informasi dan globalisasi.

Hasil Survey Partnership for 21th Century Skills (Ken Key, 2006) menunjukkan bahwa kemampuan yang dibutuhkan untuk dapat menjadi warga dunia yang efektif di abad ini utamanya berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis, keterampilan berkomunikasi, keterampilan menyelesaikan masalah, keterampilan enterpreneur, dan kapasitas kepemimpinan. Oleh karena itu, pembelajaran dan penilaiannya hendaknya diorientasikan untuk melahirkan siswa yang memiliki kemampuan sebagai pemikir kritis, komunikator efektif, terampil menyelesaikan masalah, berjiwa enterpreneur, dan mampu menjadi pemimpin.

Untuk dapat mengembangkan high order of thinking, desain pembelajaran harus mengarah kepada pengembangan kemampuan berpikir kritis. Pelajar harus diberikan kesempatan melakukan penyelidikan, berpikir, menemukan masalah, dan menyelesaikannya.  Rangkaian kegiatan pembelajaran didesain melalui berbagai kegiatan yang mengarahkan siswa melakukan analisis, sintesis,evaluasi, dan mencipta.

Dunia pendidikan saat ini hendaknya tidak direduksi untuk sekadar lulus ujian nasional. Lebih dari itu, orientasi pendidikan harus diarahkan untuk melahirkan generasi yang memenuhi standar masyarakat dunia. Dalam bahasa Mochtar Buchori, konsep pendidikan bangsa kita haruslah pendidikan antisipatoris. Pelayanan pendidikan yang progresif dengan berpikir tentang tantangan generasi bangsa di masa mendatang. Mari memulai belajar dari masa depan! (*)

Catatan: Tulisan ini telah dipublikasikan melalui Harian Fajar  dan Fajar Online (www.fajar.co.id) pada tanggal 16 April 2012

Tinggalkan komentar